Kebebasan Berekspresi merupakan Serangan Budaya

Hai para hipisa blog readers, apa kabar semuanya? Moga - moga sehat selalu dan dalam keadaan diridhai Allah SWT terus. Amin.
Nah, sobat pembaca, kali ini kami mau membahas tentang serangan psikis barat yang disebut dengan 'Kebebasan Berekspresi'. Guys, pasti kamu - kamu udah pernah menonton yang namanya Virgin, Buruan Cium Gue, Ada Apa Dengan Cinta?, Eiffel… I’m in Love, Asyiknya Pacaran, atau yang sejenisnya, kan? Ada yang tahu nggak, ternyata film - film tersebut merupakan serangan barat untuk menggoyahkan iman kita.
Serangan budaya Barat ini, disadari atau tidak, bertujuan untuk menghancurkan—secara sistematis—kepribadian kaum Muslim. Mula-mula, hukum-hukum Islam yang terkait dengan kehormatan kaum Muslim disimpangkan. Misal, jilbab dianggap budaya Arab, bukan tuntutan syariat. Lalu Muslimah yang berkerudung dan berjilbab dianggap kuno dan kolot. Setelah itu, kebebasan berbusana yang memamerkan aurat dianggap modern dan maju. Selanjutnya digulirkanlah ide kebebasan berekspresi. Seks bebas dan pergaulan bebas adalah salah satu hasilnya.

Walhasil, serangan budaya Barat pada awalnya sebatas ide, tetapi pada tahap selanjutnya sudah dalam bentuk aksi, baik secara pasif maupun aktif. Secara pasif, misalnya, melalui penyebaran buku-buku, majalah-majalah, dan film-film porno maupun yang “setengah” porno. Singkatnya, masyarakat secara vulgar diberikan pemandangan dan tuntunan yang merusak.

Sedangkan secara aktif, kita menyaksikan banyak public figure secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk berbuat dosa. Mereka berpakaian dan berperilaku tidak islami bukan hanya di sinetron atau di film, namun juga dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, masyarakat kita tidak hanya disuguhi pornografi, tetapi juga pornoaksi; bukan hanya di panggung-panggung hiburan, tetapi juga di mal-mal, di pasar-pasar, bahkan di kampus-kampus.

Jika kondisi ini dibiarkan secara terus-menerus maka bisa dipastikan akan terjadi kerusakan iman, kebejatan moral, dan meningkatnya tindakan kriminalitas di kalangan kaum Muslim. Kita bisa menyaksikan betapa banyak seorang bapak memperkosa anaknya, seorang anak memperkosa ibunya, maraknya aborsi akibat hamil di luar nikah, suburnya perselingkuhan, dan fenomena menyimpang lainnya. Semua itu disebabkan masyarakat disuguhi pornografi dan pornoaksi secara terus-menerus, yang mengakibatkan mereka lepas kendali. Sungguh, ini adalah tragedi kemanusiaan yang luar biasa, yang tidak hanya menimpa kaum Muslim saja, tetapi juga seluruh umat manusia.

Mengapa semua ini terjadi? Minimal ada tiga unsur yang mempengaruhi fenomena di atas. Pertama, dari sisi pelaku. Baik artis, sutradara, maupun para pelaku film lainnya telah termasuki paham sesat Barat berupa kebebasan berekspresi yang bersumber dari demokrasi. Mereka beranggapan, apa yang telah mereka lakukan tidak melanggar HAM, karena tidak ada yang dirugikan secara material. Mereka juga beranggapan, bahwa semua itu adalah seni.

Selain itu adalah alasan ekonomi (bisnis). Mereka melakukan semua itu demi uang, tanpa peduli apakah yang dilakukannya itu halal ataukah haram; apakah berakibat baik atau buruk bagi masyarakat. Selain itu, mereka juga beralasan bahwa mereka sekadar memotret realitas sosial yang ada di masyarakat.

Free sex, pergaulan bebas, dan budaya hewani lainnya menurut mereka—diakui ataupun tidak—adalah fenomena yang terjadi di masyarakat. Padahal sebenarnya, meski fenomena itu ada, itu bukanlah gejala umum di masyarakat. Itu semua adalah penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di lapisan tertentu masyarakat saja. Artinya, semua itu adalah realitas yang jauh dari masyarakat; ia hanyalah penyakit sosial.

Sayangnya, penyakit sosial itulah yang justru ingin disebarkan oleh mereka melalui pornografi dan pornoaksi kepada kaum Muslim.
Kedua, diamnya masyarakat. Para penggagas ide kebebasan berekspresi dan berperilaku biasanya berlindung di balik jargon demokrasi. Ketika mereka menyuguhkan pornografi atau pornoaksi, mereka cukup berkata, “Biarlah masyarakat yang menilai, karena masyarakat sekarang sudah dewasa." Celakanya, meski sebagian besar masyarakat tidak setuju terhadap fenomena di atas, mereka diam.

Jangankan melakukan aksi menentang keberadaan fenomena di atas, sekadar berkomentar dengan nada sinis saja tidak bisa. Sikap diam masyarakat ini akhirnya dijadikan pembenaran oleh penggagas ide sesat di atas sebagai 'tanda setuju' terhadap apa yang mereka lakukan, karena tidak ada protes apalagi pemboikotan.

Ketiga, dukungan pemerintah. Pemerintah, secara sadar atau tidak, justru menjadi pendorong utama bagi tumbuh-suburnya penyimpangan sosial di atas. Betapa tidak? Pemerintah telah mengadopsi demokrasi dan HAM sebagai mainstream (arus utama) dalam menata negeri ini. Sebagaimana kita ketahui, yang menjadi alasan utama para penggagas dan pelaku penyimpangan.
Oleh karena itu, teman - teman sekalian, marilah kita bersama-sama menghadapi serangan Barat yang berupaya untuk menghancurkan Islam. Kita tidak boleh berdiam diri. Sebab, jika demikian, kita akan dianggap menyetujui mereka walau kita sebenarnya menolak.
Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيمَانِ
Siapa saja yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika masih tidak mampu, dengan kalbunya. Itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR Muslim).
Jadi, berbuatlah apapun untuk mencegah kemungkaran. Karena sesungguhnya itu termasuk ke dalam sekecil - kecilnya jihad. Allahu Akbar!

Comments

Popular posts from this blog

Hikmah Gempa Pulau Sumatra

How and What Boring Is?

Lagu Mars HIPISA